Rabu, 04 Januari 2012

Kisah : Perjuangan Seorang Ibu mencukupi kebutuhan


 Ribuan kilo jalan yang kau tempuh
Lewati rintang untuk aku anakmu
Ibuku sayang masih terus berjalan
Walau tapak kaki, penuh darah, penuh nanah...
Sepenggal lirik lagu "Ibu" yang dipopulerkan oleh Iwan Fals, terasa pas untuk menceritakan perjuangan Ibu Mus (51) untuk membantu suami mencukupi kebutuhan keluarga dan anak-anaknya.
Sejak tahun 1980-an, ibu dua anak asal Surabaya ini telah mengadu nasib ke Jakarta. Tidak banyak yang bisa dia lakukan, namun tekadnya untuk menghidupi kedua anaknya lebih besar. Dia pun kemudian memutuskan bergabung dengan kelompok kesenian kuda lumping keliling.
"Waktu itu tahun 1983, saya sudah ikut bergabung, dari dulu awalnya di Bekasi kemudian pindah ke Jakarta sampai sekarang," kata Ibu Mus, saat ditemui di kawasan Penjernihan,
Aktivitas Ibu Mus dimulai dari subuh saat dia menjalani shalat subuh. Kemudian dia mulai membersihkan rumah hingga menyiapkan sarapan. Pukul 09.00 WIB dia mulai berkeliling bersama kelompok kuda lumping.
Hari ini pun, bertepatan dengan peringatan Hari Ibu, Ibu Mus kembali berkeliling bersama kelompok kuda lumping. Hanya mengenakan sandal jepit dan kemeja yang sedikit kebesaran, Ibu Mus masih bersemangat berkeliling meminta uang saweran kepada warga yang menonton.
"Sudah lama ikut kelompok ini, ya saya nggak cuma bisa minta uang kadang saya juga memainkan alat musik seperti gong ini, kadang saya juga memainkan cambuk," katanya.
Tidak ada rasa malu atau gengsi tersirat di wajahnya. Bagi dia setiap lembaran atau koin rupiah yang diberikan amat berarti. Dari situlah dia bisa menghidupi anak-anaknya hingga sekarang mereka telah dewasa dan memiliki keluarga.
"Dalam sehari itu nggak tentu dapatnya. Kalau lagi ramai saya bisa bawa pulang Rp 25.000, tapi kalo lagi sepi, paling banyak hanya Rp 5.000, itu pun pasti habis untuk makan dan ongkos pulang," kata Ibu Mus.
Uang tersebut memang berarti bagi Ibu Mus, mengingat suaminya hanya seorang pemulung botol bekas. Kadang untuk menambah pemasukan, dia rela lanjut kembali bekerja paruh waktu membuat kalender dari pukul 22.00 hingga pukul 06.00 WIB esok harinya.
Berjuang sendiri
Hampir sama dengan Ibu Mus, Wati (31) ikut bergabung dengan kelompok kesenian kuda lumping ini. Sudah tiga tahun dia bergabung, dan dia memiliki tugas untuk menyediakan api serta meminta saweran.
"Saya sudah pisah ranjang dengan suami saya, dan untuk menghidupi anak, saya ikut kelompok ini dan juga jualan mi instan malam harinya. Ya mati-matian berjuang sendiri buat anak" kata Wati.
Namun, tampaknya cobaan bagi Wati belum berhenti. Setelah pisah ranjang dengan suami, dia pun harus menghadapi anaknya yang tidak bisa diatur. "Anak saya usianya 16 tahun, sekarang susah diaturnya, mungkin karena pergaulannya yang tidak baik. Padahal saya kerja di jalan kayak gini demi dia, ya saya hanya bisa berdoa saja supaya tetap kuat," kata Wati.
Ibu Mus dan Wati adalah dua generasi yang berbeda. Namun perjuangan mereka menjadi seorang ibu sama. Harus berpanas-panas di jalan, bersabar ketika penghasilan sedikit ataupun ketika mimpi mereka belum menjadi kenyataaan.
"Mungkin, ini adalah artinya menjadi ibu. Siapa yang tidak pengin hidup nyaman dan sejahtera, tapi kalo memang ini harus saya lakukan demi anak dan hidup keluarga, ya ini yang harus dilakukan sekarang," kata Wati.
Waktu pulang masih dua jam lagi, Ibu Mus dan Wati kembali berjalan lagi memasuki perkampungan warga.
...Seperti udara kasih yang engkau berikan
Tak mampu ku membalas ibu... ibu..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar